Kamis, 28 Januari 2016

MAKALAH FIKIH WUDHU, MANDI DAN KHITAN



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Ibadah merupakan suatu kewajiban bagi umat manusia terhadap Tuhannya dan dengan ibadah manusia akan mendapat ketenangan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat nanti. Bentuk dan jenis ibadah sangat bermacam – macam, seperti Sholat puasa, naik haji, jihad, membaca Al-Qur'an, dan lainnya dan setiap ibadah memiliki syarat – syarat untuk dapat melakukannya, serta ada pula ibadah yang tidak memiliki syarat mutlak untuk melakukannya.
Diantara ibadah yang memiliki syarat – syarat diantaranya haji yang memiliki syarat–syarat, yaitu mampu dalam biaya perjalannya, baligh, berakal, dan sebagainya, dan contoh lain jika kita akan melakukan ibadah sholat maka syarat untuk melakukan ibadah tersebut ialah kita wajib terbebas dari segala najis maupun dari hadats, baik hadats besar maupun hadats kecil. 
Kualitas pahala ibadah juga dipermasalah jika kebersihan dan kesucian diri seseorang dari hadats maupun najis belum sempurna, maka ibadah tersebut tidak akan diterima. Ini berarti bahwa kebersihan dan kesucian dari najis maupun hadats merupakan keharusan bagi setiap manusia yang akan melakukan ibadah, terutama sholat, membaca Al-Qur'an, naik haji, dan lain sebaginya.

B.     Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu :
1.      Apakah yang dimaksud dengan taharah ?
2.      Apakah yang di maksud dengan wuudhu, serta rukun-rukunya ?
3.      Apakah yang di maksud dengan mandi junub ?
4.      Bagaimana tata cara mandi haid dan junub bagi perempuan ?
5.      Apakah yang di maksut dengan khitan, ketentuan dan hikmahnya ?
C.    Tujuan penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini makalah ini yaitu :
1.      Menjelasakan arti dari taharah.
2.      Memberi penjelasan mengeni yang di maksud dengan wudhu, serta rukun-rukunya.
3.      Memberi penjelasan mengeni mandi junub.
4.      Memberi informasi tentang tata cara mandi haid dan junub bagi perempuan.
5.      menjelaskan maksud dari khitan,serta  ketentuan dan hikmahnya.

D.    Metode penulisan
Adapun metode yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah dengan mencari bahan – bahan materi dari beberapa buku. dan browsing. browsing adalah metode yang dilakukan dengan cara mencari bahan-bahan  yang berkaitan dengan judul karya tulis melalui akses internet.
















BAB II
PEMBAHASAN

A.    THAHARAH
1.      Pengertian
Menurut lughah (bahasa) thararah adalah suci atau bersih. Dalam istilah syariat, tharah artinya suci dari hadats dan najis, maksudnya keadaan suci setelah berwudu, tayamum atau mandi wajib Yang benarvtelah di niatkan  dan sucin dari bnajis setelah terlebih dahulu di bersihkan dari badan, pakaian, dan tempat.
Dalam syari’at islam, perseolan bersuci dan segala seluk beluknya termasuk bagian ilmu dan malan yang penting, karena terutama diantara syarat-syarat shalat ditetapkan bahawa oaring yang hendak  melaksanakan shalat, harus besuci terlibih dahulu.
Tentang bersuci ini Allah SWT. menegaskan dalam firman-Nya :

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri”. (al-baqarah:222)       

Dalam sebuah hadits Rasullullah menjelaskan :

   لَّا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
 “Allah tidak menerima shalat yang tidak disertai dengan bersuci” (Hr.Muslim)

2.      Macam-macam alat bersuci
Pada dasarnya yang dijadikan alat bersuci itu hanyalah air. Walaupun   air dijadikan sebagai alat bersuci, namun tidak semua boleh untuk bersuci. Oleh karena itu apabila ditinjau dari segi hukumnya, dikenal empat macam air, yaitu :
1)      Air mutlak, yaitu air yang suci dan menyucikan. Air seperti ini  wujudnya atau keadaanya masih asli belum tercampur dengan sesuatu benda lain, dan tidak terkena najis sereta boleh diminum dan sah untuk bersuci, seperti air hujan, air laut, air sumur, air sungai dan lain-lain.
Firman Allah SWT:
وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ ....
“….dan Allah menurunkan air (hujan) dari langit kepadamu untuk menyucikan kamu….”. (QS. Al-Anfal :11)

2)      Air Musammas/musyammas (air yangt dijemur ditempat logam yang bukan emas) yaitu air yang suci dan dapat mensucikan tetapi makruh jika dipakai untuk bersuci, seperti air yang di panaskan dengan sinar matahari, air yang dipanaskan dala tembaga atau besi. Air ini makruh digunakan karena dapat mengakibatkan timbulnya penyakit sopak, sebagaimana Nabi pernah melarang Aisyah.

“janganlah engkau berbuat demkian, wahai Aisyah, karena air itu dapat menimbulkan penyakit sopak”. (riwayat Al-Baihaqi)

3)      Air musta’mal,  yaitu air yang suci tetapi tidak dapat digunakan untuk bersuci. Adapun yang tergolongt air seperti ini adalah :
a.       Air suci yang telah bercampur dengan benda suci lainya, seperti air the, air kopi, air limun, air sirop, dan sebagainya.
b.      Air yang berasal dari pepohonan atau buah-buahan, seperti air kelapa, air nira, dan sebagaianya.
c.       Air yang kurang dari dua kulah dan telah dipakai untuk bersuci meskipun tidak berubah sifatnya, seperti warnanya, rasanya, dan baunya.
Keterangan : dua kulah= 216 liter. Jika berbentuk bak, maka besarnya = 60 cm x 60 cm x 60 cm.
4)      Air mutanajjis,  yaitu air yang terkena atau telah bercampur najis. Air mutanajjis apabila kurang dari dua kulah maka tidak sah untuk bersuci, tetapi apabila lebih dari dua kulah dan tidak berubah sifatnya (bau, warna, dan rasanya) maka sah untuk bersuci. Nabi Muhammad SAW. bersabda :

“Air itu tidak nnajis oleh sesuatu, kecuali jika menjadi berubah rasanya, warnanya, baunya”. (Riwayat Ibnu Majjah dan Baihaqi)

Walaupun pada dasarnya hanya air yang suci dan mensucikan yang dapat dipakai sebagai alat bersuci, namun apabila dalam keadaan tertentu seperti tidak ada air, sakit, sedang diperjalanan, maka benda selain air dapat digunakan sebagai alat bersuci, seperti tanah atau debu, sebagaimana sabda Rasulullah SAW.
Telah dijadikan bagiku tanah suci, dapat mensucikan dan sebagai tempat sujud’. (Riwayat Muttafaq Alaih)


B.     WUDHU
1.      Pengertian Wudhu
Dalam istilah lughah(bahasa), wudhu berarti bersih dan indah, sedangkan menurut syara’ wudu artinya membersihkan anggota badan dari hadats kecil sesuai dengan kententuan yang telah ditetapkan .
Orang yang hendak mengerjakan shalat, terlebih dahulu diwajibkan berwudhu, Karena wudhu merupakan salah satu syarat sahnya shalat. Allah menegaskan dalam surat Al-Maidah ayat 6 :

                        يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغْسِلُوا۟ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى ٱلْمَرَافِقِ وَٱمْسَحُوا۟ بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى ٱلْكَعْبَيْنِ
 Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki.

2.      Syarat sahnya wudhu
Adapun syarat-syarat wudhu adalah sebagai berikut :
a.       Islam.
b.      Tamyiz, artinya dapat membedakan baik buruknya sesuatu pekerjaan.
c.       Tidak berhadas besar.
d.      Dengan air suci dan mensucikan
e.       Tidak ada sesuatu yang menghalangi air sampai ke anggota wudhu, misalnya getah, cat, dan sebagainya.
f.       Mengtahui mana wajib (fardu) dan manah yang sunnat.

3.      Rukun (Fardu) wudhu
Rukun wudhu adalah sebagai berikut :
a.       Niat, yaitu sengaja dalam hati melakukan wudhu. Lafaznya :
Artinya :
b.      Membasuh seluruh muka, yakni mulai dari tumbuhnya rambut kepala hingga bawah dagu, dan dari telinga kanan hingga telinga kiri.
c.       Membasuh kedua tangan sampai siku.
d.      Mengusap sebagaian rambut kepala.
e.       Membasuh kedua belah kaki sampai mata kaki.
f.       Tertib (berturut-turut) artinya mendahulukan mana yang harus dahulu, dan mengakhiri mana yang harus di akhiri.
4.      Urutan (tertib) wudhu
Dalam berwudhu harus berurutan, dan tidak boleh sembarangan saja. Urutan (tertib) wudhu adalah sebagai berikut :
a.       Membaca basmalah ()
b.      Membasuh kedua telapak tangan.
c.       Berkumur-kumur.
d.      Membersihkan lubang hidung dengan cara meghirup atau memasukan air ke hidung sampai 3 kali.
e.       Membasuh muka hinga rata tiga kali.
f.       Membasuh kedua tangan smapai ke siku tiga kali dengan mendahulukan yang kanan.
g.      Membasuh kepala dan sekaligus daun telinga.
h.      Membasuh kedua kaki hingga mata kaki sebanyak tiga kali dengan mendahulukan kaki kanan.
i.        Membaca doa setelah selesai wudhu.

5.      Sunah-sunah Wudhu
Dalam rangka mencapai kesempurnaan nilai ibadah wudhu maka disunahkan melakukan perbuatan-perbuatan sebagai berikut :
a.       Membaca basamalah(bismilahirohmannirohim) pada permulaan berwudhu.
b.      Mebasuh kedua telapak tangan samapi pergelangan tangan.
c.       Berkumur-kumur.
d.      Mebasuh lubang hidung sebelum berniat.
e.       Meyapu seluruh kepala dengan air.
f.       Mendahulukan anggota kanan dari pada yang kiri.
g.      Menyapu kedua telingga luar ddan dalam.
h.      Menigakalikan dalam membasuh.
i.        Menyela-nyela jari tangan dan kaki.
j.        Membaca doa setelah wudhu.

6.      Hal-hal yang membatalakan wudhu
Ada beberapa hal yang membatalkan wudhu yaitu sebagai berikut :
1)      Keluar sesuatu dari qubul dan dubur, misalnya buang air kecil maupun besar, atau kentut dan sebaginya.
2)      Hilang akal sebab gila, pingsan, mabuk, atau tidur nyenyak.
3)      Tersentuh kulit antara laki-laki dan perempun yang bukan muhrimnya dengan tidak memakai tutup. Muhrim artinya keluarga yang tidak boleh dinikahi.
4)      Tersentuh kemaluan (qubul dan dubur) dengan telapak tangan atau jari-jari yang tidak memakai turtup. (walaupun kemaluannya sendiri).

C.    MANDI WAJIB
1.      Syarat mandi besar
Mandi besar atau disebut juga mandi wajib adalah meratakan air keseluruh tubuh dengan disertai niat untuk menghilangkan hadas besar. Dengan demikian niat inilah yang membedakan antara mandi yang kita lakukan sehari-hari (mandi biasa) dengan mandi besar.
Adapun syarat mandi besar adalah bahwa seseorang dalam keadaan berhadas besar.  Alasan diwajibkan mandi :
a)      Bersetubuh
b)      Keluar mani
c)      Mati, dan matinya bukan syahid.
d)     Nifas (keluarnya darah setelah melahirkan).
e)      Berhentinya haid bagi perempuan.
f)       Melahirkan (wiladah) dalam keadaan normal atau kegguguran.

2.      Rukun mandi
a)      Niat,yakni menyengaja mandi dengan niat/maksud untuk menghilangkan hadast besar.
b)      Membasuh badan
c)      Menghilangkan najis yang ada pada badan
d)     Meratakan air keseluruh rambut dan kulit

3.      Sunnah  mandi wajib
a)      membaca basmallah pada permulaan mandi.
b)      Mendahulukan membasuh segala kotoran dan najis seluruh badan
c)      Menghadap kiblat suatu mandi dan mendahulukan bagian kanan daripada kiri
d)     Membsuh badan sampai 3 kali
e)      Membaca doa sebagai mana membaca doa sesudah wudhu
f)       Mendahulukan mengambil air wudhu,yakni sebelum mandi disunatkan berwudhu lebih dahulu
 
4.      Larangan bagi orang yang berhadas besar
a.      Orang sedang junub, tidak diperbolehkan :
·         Melaksanakan shalat
·         Melaksanakan thawaf di baitullah
·         Memegangg kitab suci Al-Qur’an
·         Membawa/menganggkat Al-qur’an
·         Membaca Al-Qur’an
·         Iktikap (diam) di masjid
b.      Orang sedang haid dilarang :
·         Melaksanakan kegiatan yang dilarang bagi orang yang junub
·         Bersetubuh
·         Berpuasa, baik puasa sunaat msaupun fardu
·         Dijatuhi talaq (dicerai)

5.      Tata Cara Mandi haid dan Junub Bagi Wanita
Tata cara mandi bagi wanita, dibedakan antara mandi junub dan mandi setelah haid atau nifas. Untuk tata cara mandi junub bagi wanita, sama dengan tata cara mandi bagi laki-laki, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Hanya saja, wanita yang mandi junub dibolehkan untuk menggelung rambutnya
Agar ibadah diterima Allah maka dalam melaksanakan salah satu ajaran islam, kita harus melaksanakannya sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam .

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha bahwa seorang wanita bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang mandi dari haid. Maka beliau memerintahkannya tata cara bersuci, beliau bersabda:

خُذُ فِرْصَةً مِنْ مِسْكٍ فَتَطَهُّرُ بِهَا قَالَتْ كَيْفَ أَتَطَهُّرُ بِهَاقَالَ تَطَهَّرِي بِهَاسُبْحَانَ اللهِ.قَالَتْ عَائِشَةُ وَاجْتَذَبْتُهَا إِلَيَّ فَقُلْتُ تَتَبْعِي بِهَاأَثَرَا لدَّمِ

“Hendaklah dia mengambil sepotong kapas atau kain yang diberi minyak wangi kemudian bersucilah dengannya. Wanita itu berkata: “Bagaimana caranya aku bersuci dengannya?” Beliau bersabda: “Maha Suci Allah bersucilah!” Maka ‘Aisyah menarik wanita itu kemudian berkata: “Ikutilah (usaplah) olehmu bekas darah itu dengannya(potongan kain/kapas).” (HR. Muslim: 332)

Maka wajib bagi wanita apabila telah bersih dari haidh untuk mandi dengan membersihkan seluruh anggota badan; minimal dengan menyiramkan air ke seluruh badannya sampai ke pangkal rambutnya; dan yang lebih utama adalah dengan tata cara mandi yang terdapat dalam hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ringkasnya sebagai berikut:

1.      Wanita tersebut mengambil air dan sabunnya, kemudian berwudhu’ dan membaguskan wudhu’nya.
2.      Menyiramkan air ke atas kepalanya lalu menggosok-gosokkannya dengan kuat sehingga air dapat sampai pada tempat tumbuhnya rambut. Dalam hal ini tidak wajib baginya untuk menguraikan jalinan rambut kecuali apabila dengan menguraikan jalinan akan dapat membantu sampainya air ke tempat tumbuhnya rambut (kulit kepala).
3.      Menyiramkan air ke badannya.
4.      Mengambil secarik kain atau kapas (atau semisalnya) lalu diberi minyak wangi kasturi atau semisalnya kemudian mengusap bekas darah (farji) dengannya.

Tata Cara Mandi Junub Bagi Wanita

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, beliau berkata yang artinya:
“Kami ( istri-istri Nabi) apabila salah seorang diantara kami junub, maka dia mengambil (air) dengan kedua telapak tangannya tiga kali lalu menyiramkannya di atas kepalanya, kemudian dia mengambil air dengan satu tangannya lalu menyiramkannya ke bagian tubuh kanan dan dengan tangannya yang lain ke bagian tubuh yang kiri.” (Hadits Shahih riwayat Bukhari: 277 dan Abu Dawud: 253)

Seorang wanita tidak wajib menguraikan (melepaskan) jalinan rambutnya ketika mandi karena junub, berdasarkan hadits berikut:
Dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha berkata yang artinya:

Aku (Ummu Salamah) berkata: “Wahai Rasulullah, aku adalah seorang wanita, aku menguatkan jalinan rambutku, maka apakah aku harus menguraikannya untuk mandi karena junub?” Beliau bersabda: “Tidak, cukup bagimu menuangkan air ke atas kepalamu tiga kali kemudian engkau mengguyurkan air ke badanmu, kemudian engkau bersuci.” (Hadits Shahih riwayat Muslim, Abu Dawud: 251, an-Nasaai: 1/131, Tirmidzi:1/176, hadits: 105 dan dia berkata: “Hadits Hasan shahih,” Ibnu Majah: 603)
Ringkasan tentang mandi junub bagi wanita adalah:

1.      Seorang wanita mengambil airnya, kemudian berwudhu dan membaguskan wudhu’nya (dimulai dengan bagian yang kanan).
2.      Menyiramkan air ke atas kepalanya tiga kali.
3.      Menggosok-gosok kepalanya sehingga air sampai pada pangkal rambutnya.
4.      Mengguyurkan air ke badan dimulai dengan bagian yang kanan kemudian bagian yang kiri.
5.      Tidak wajib membuka jalinan rambut ketika mandi

D.    KHITAN
1.      Pengertian khitan
Khitan secara bahasa diambil dari kata “ khatana “ yang berarti memotong. Khitan bagi laki-laki adalah memotong kulit yang menutupi ujung zakar, sehingga menjadi terbuka. Sedangkan khitan bagi perempuan adalah memotong sedikit kulit (selaput) yang menutupi ujung klitoris (preputium clitoris) atau membuang sedikit dari bagian klitoris (kelentit) atau gumpalan jaringan kecil yang terdapat pada ujung lubang vulva bagian atas kemaluan perempuan. Khitan bagi laki-laki dinamakan juga I’zar dan bagi perempuan disebut khafd.

2.      Ketentuan dalam khitan
Khitan dalam agama Islam berlaku untuk lelaki dan perempuan. Para ulama berbeda pendapat dalam khitan. Menurut mazhab Hanafi, Maliki, salah satu pendapat Imam Syafi'i dan salah satu riwayat Hanbali mengatakan bahwa khitan hukumnya sunnah bagi lelaki dan keutamaan bagi perempuan. Pendapat ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda: "Khitan itu sunnah bagi lelaki dan keutamaan bagi wanita" (HR. Baihaqi). Hadis tersebut oleh Baihaqi sendiri diragukan kesahihannya. Kemudian diperkuat dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: "Ada lima perkara yang termasuk fithrah (di sini diartikan keutamaan dalam agama), yaitu: Khitan, mencukur rambut kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong/merapikan kuku dan merapikan jenggot/kumis" (HR. Bukhari). Hadis tersebut menyebutkan khitan dalam rentetan perkara yang dianjurkan oleh agama, sehingga mengindikasikan persamaan hukum dari perkara-perkara tersebut, yaitu sunnah.

Pendapat kedua, mazhab Syafi'i dan Hanbali dan Sahnun (dari ulama Malikiyah) mengatakan bahwa khitan hukumnya wajib bagi lelaki dan perempuan. Pendapat ini dilandaskan kepada Ayat yang memerintahkan Nabi Muhammad agar megikuti ajaran Nabi Ibrahim; "Kemudian Aku (Allah) wahyukan kepadamu (Muhammad) agar mengikuti ajaran Ibrahim yang dimuliakan" (QS : An-Nahl : 123), dan termasuk ajaran Nabi Ibrahim adalah berkhitan, sebagaimana dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa "Nabi Ibrahim melaksanakan khitan ketika berumur 80 tahun dengan menggunakan kapak" (HR. Bukhari). Dalam riwayat Abu Dawud juga terdapat perintah untuk berkhitan. Kemudian ada hadis lain yang menyebutkan: "Apabila dua jenis khitan bertemu, maka telah mewajibkan mandi" (HR. Muslim). Ini menujukkan bahwa khitan terjadi pada lelaki dan perempuan.

Pendapat ketiga, diriwayatkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni, menyatakan bahwa Khitan hukumnya Wajib bagi lelaki dan sunnah bagi perempuan.

Waktu Khitan bagi mazhab Syafi'i dan Hanbali adalah ketika baligh, karena kegunaan Khitan adalah menyempurnakan thaharah (bersuci) dalam beribadah. Namun disunatkan ketika bayi berumur 7 hari, karena Rasulullah telah melaksanakan 'aqiqah dan khitan untuk kedua cucunya Hasan dan Husain di hari ke tujuh.(HR. Baihaqi). Pendapat lain menyatakan bahwa yang utama khitan dilakukan ketika berumur 7 - 10 tahun karena pada saat itu seorang anak mulai diperintahkan menjalankan solat.

3.      Hikmah Khitan
1.      Mubalaghah (tetap menjaga) dalam kebersihan dan kesucian.
2.      Membedakan antara Muslim dan non Muslim, sehingga bila hakim melihat di suatu daerah para laki-laki tidak melaksanakan khitan, maka mereka harus diperangi agar melaksanakan Syi’ar Islam,
3.      Praktik khitan bagi perempuan sebagai kontrol terhadap seksualitas perempuan,  dengan demikian tercipta masyarakat dengan lingkungan jauh dari praktek maksiat.
4.      Ta’at akan perintah Allah dan Rasulnya.
5.      Perempuan menjadi lebih iffah, sehingga terpelihara diri dan agamanya.














BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Thararah adalah suci atau bersih. Dalam istilah syariat, tharah artinya suci dari hadats dan najis. Pada dasarnya yang dijadikan alat bersuci itu hanyalah air.  Oleh karena itu apabila ditinjau dari segi hukumnya, dikenal empat macam air, yaitu :
1.       Air mutlak, yaitu air yang suci dan menyucikan.
2.       Air Musammas/musyammas (air yangt dijemur ditempat logam yang bukan emas) yaitu air yang suci dan dapat mensucikan tetapi makruh jika dipakai untuk bersuci
3.       Air musta’mal,  yaitu air yang suci tetapi tidak dapat digunakan untuk bersuci.
4.       Air mutanajjis,  yaitu air yang terkena atau telah bercampur najis. Air mutanajjis apabila kurang dari dua kulah maka tidak sah untuk bersuci
wudhu berarti bersih dan indah, sedangkan menurut syara’ wudu artinya membersihkan anggota badan dari hadats kecil sesuai dengan kententuan yang telah ditetapkan.
Mandi besar atau disebut juga mandi wajib adalah meratakan air keseluruh tubuh dengan disertai niat untuk menghilangkan hadas besar. Dengan demikian niat inilah yang membedakan antara mandi yang kita lakukan sehari-hari (mandi biasa) dengan mandi besar.
Khitan secara bahasa diambil dari kata “ khatana “ yang berarti memotong. Khitan bagi laki-laki adalah memotong kulit yang menutupi ujung zakar, sehingga menjadi terbuka. Sedangkan khitan bagi perempuan adalah memotong sedikit kulit (selaput) yang menutupi ujung klitoris (preputium clitoris) atau membuang sedikit dari bagian klitoris (kelentit) atau gumpalan jaringan kecil yang terdapat pada ujung lubang vulva bagian atas kemaluan perempuan
B.     Saran dan Kritik
Sebagai salah satu calon pendidik, kita harus mengetahui apa-apa saja mengenai taharah, wudhu, mandi, ataupun mengenai khitan. Kita hendaknya mampu memberi informasi tersebut kepada masyarakat terutama kepada anak-anak didik kita kelak. Dengan selalu berpedoman kepada Al-qur’an dan hadits-hadits.
Demikian makalah ini kami susun, semoga dengan membaca makalah ini dapat dijadikan pedoman kita dalam melangkah dan bisa menjaga akhlak terhadap diri sendiri. Apabila ada kekurangan dalam penulisan makalah ini, kami mohon maaf yang setulus-tulusnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar